Rabu, 20 April 2011

Renungan



Dahulu kala, hiduplah seorang guru yang terkenal bijaksana. Pada suatu pagi, datanglah seorang pemuda dengan langkah lunglai dan rambut masai. Pemuda itu sepertinya tengah dirundung masalah. Tanpa membuang waktu, dia mengungkapkan keresahannya: impiannya gagal, karier, cinta, dan hidupnya tak pernah berakhir bahagia.
Sang Guru mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Dia taburkan garam itu ke dalam gelas, lalu dia aduk dengan sendok.
” Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya?” pinta Sang Guru.
“Asin dan pahit, pahit sekali,” jawab pemuda itu, sembari meludah ke tanah.
Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga di hutan dekat kediamannya. Kedua orang itu berjalan beriringan dalam kediaman. Sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Sang Guru lalu menaburkan segenggam garam tadi ke dalam telaga. Dengan sebilah kayu, diaduknya air telaga, membuat gelombang dan riak kecil.
Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, “Coba, ambil air dari telagaini, dan minumlah.”
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga, Sang Guru bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar,” sahut pemuda itu.
“Apakah kamu masih merasakan garam di dalam air itu?” tanya Sang Guru.
“Tidak,” jawab si anak muda.
Sang Guru menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk bersimpuh di tepi telaga.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.Tetapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita pakai. Kepahitan itu, selalu berasal dari bagaimana cara kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan atau kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu lakukan: lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. Luaskan cara pandang terhadap kehidupan. Kamu akan banyak belajar dari keluasan itu.”
“Hatimu anakku, adalah wadah itu. Batinmu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah hatimu seluas telaga yang mampu meredam setiap kepahitan. Hati yang seluas dunia!”
Keduanya beranjak pulang. Sang Guru masih menyimpan “segenggam garam” untuk orang-orang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan hati.
Selengkapnya...

Senin, 07 Februari 2011

Masjid Agung An-nur Pare

Masjid Annur Pare


Masjid ini terletak di Jalan Panglima Sudirman, Pare, Kediri, menjadi representasi penting untuk masyarakat setempat. Selain sebagai tempat ibadah, masjid yang dibangun pada tahun 1996 ini, juga merupakan pusat syiar Islam di Pare dan Kediri. Pembangunan masjid di tanah seluas sekitar 4 hektar ini sempat terhenti karena krisis moneter 1997, namun akhirnya berhasil diselesaikan dengan menelan biaya sekitar Rp. 200 milyar. Biaya pembangunan itu sungguh besar untuk ukuran sebuah masjid, namun menjadi wajar bila ditengok dari bangunan masjid yang namanya diambil dari Kyai Nurwahid, pejuang Islam yang terkenal di Pare yang dimakamkan di Desa Tulung Rejo, Pare.

Seperti kebanyakan masjid di Indonesia, arsitektur Jawanya bisa dilihat pada bentuk atap masjid, yaitu atap tajug untuk bangunan induknya dan atap joglo untuk bangunan tempat masuk. Agar terkesan ekspresif, atap tajug dirancang berebntuk piramid di bagian atasnya, dengan kemiringan sudut yang dipertajam sedemikian rupa, sehingga diperoleh kesan atap yang menjulang ke langit. Bangunan beratap tajug dan joglo itu, konon, telah dikenal sejak masa Kerajaan Kahuripan dan Doho.

Dalam arsitektur tradisional Jawa, biasanya atap tajug atau joglo ditunjang 4 soko guru. Pada masjid An-Nur, setiap soko guru itu digandakan menjadi empat soko guru. Keempat soko guru ini disatukan oleh balok pengikat yang saling bersilangan di tengah dengan arah miring ke atas dan bersatu di titik puncak persilangan. Pada titik inilah balok pendukung space frame yang digunakan untuk konstruksi atap itu bertumpu. Struktur space frame dipilih untuk kerangka atap bertujuan untuk memberi kesan ringan yang diekspresikan oleh rerangka space frame tersebut, yang sengaja tidak ditutup dengan plafond, sehingga kontras dengan kesan kokohnya susunan balok dan soko-soko guru pendukungnya.

Rancangan Masjid An-Nur ini diilhami oleh John Portman, arsitek asal Amerika. Salah satu elemen rumah yang paling menonjol adalah kolom-kolomnya. Kolom yang di'ledak'kan atau di'bengkok'kan (exploded column), yang didalamnya dikosongkan dan difungsikan khususnya untuk sirkulasi antar ruang dan tangga yang menghubungkan lantai bawah dan lantai atas. Kolom yang di'bengkok'kan inilah yang digunakan perancang untuk kolom-kolom masjid bagian luar, dengan tujuan untuk memberi proporsi yang sesuai dengan jarak kolom yang membentengi tiga traffee bagian luar. Selain itu juga memberikan tampilan yang kontras antara kolom lingkar yang kokoh dengan bidang dinding kaca lebar yang transparan di lantai satu. Bidang dinding kaca ini diperlukan untuk memberi kesan bebas pada para jamaah dari dalam masjid yang ingin melihat ke taman di luarnya.

Konsep arsitektur inilah yang mengantar Masjid An-Nur mendapat penghargaan Juara Pertama Sayembara Internasional untuk kategori Perancangan Arsitektural Masjid, termasuk pemanfaatan teknologi modern dalam arsitektur masjid. Penghargaan ini diberikan oleh Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dalam rangka memperingati 100 tahun berdirinya Kerajaan Saudi, akhir Januari 1999 lalu.
Selengkapnya...